Awal mula perkembangan teknologi komunikasi dunia adalah saat
ditemukannya telepon oleh Alexander Graham Bell yang memungkinkan seseorang
dapat berkomunikasi jarak jauh walau tidak saling bertatap muka. Puncak dari
pengembangan teknologi telepon di abad 19 adalah penemuan sistem digital dan
pengembangan teknologi telepon bergerak
atau mobile yang melahirkan teknologi digital seperti mobile phone,
pager, dan telepon selular. Dalam masa perkembangannya alat komunikasi tersebut
mengalami perkembangan yang pesat sejak ditemukannya internet pada masa perang
dunia dua, hingga hari ini telepon diintegrasikan dengan internet.
Teknologi Telekomunikasi di Indonesia
Sejak Amerika Serikat meluncurkan ‘The National
Infrastructure Information’-nya pada tahun 1991, banyak negara industri lain di
dunia bergegas menyusul dengan meluncurkan kebijakan-kebijakan infrastruktur
komunikasinya. Dalam kurun waktu lima tahun setelah itu, negara-negara Eropa
seperti Perancis, Denmark, Inggris, Jerman, dan lainnya merancang dan
mempublikasikan kebijakan-kebijakan superhighways informasi mereka. Inggris
menamai programnya dengan ‘The Information Society Initiative’ dan Jerman ‘The
Info 2000’. Di Asia, Jepang menampilkan kebijakan serupa pada tahun 1994 (Yuliar,
dkk, 2001: 162-163).
Tak lama kemudian, yakni tahun 1996, negara-negara di wilayah
Asia Tenggara pun tidak mau ketinggalan meluncurkan kebijakan-kebijakan
infrastruktur komunikasi- informasi mereka, seperti Filipina dengan ‘Tiger’,
Malaysia dengan ‘Multimedia Super Coridor’ dan Singapura dengan
‘Singapore-ONE’. Pada awal tahun 1997, Indonesia meluncurkan kebijakan
infrastruktur superhighways informasi yang diberi nama ‘Nusantara 21’, yang
selanjutnya dikuatkan dengan dikeluarkannya Keppres No. 30 tahun 1997 mengenai
Pembentukan Tim Koordinasi Telematika Indonesia, yang bertugas
mengkoordinasikan pengembangan pembangunan dan pemanfaatan telematika di
Indonesia (Yuliar, dkk, 2001: 162-163)
Namun demikian, menurut Yuliar, dkk (2001: 172), kebijakan
infrastruktur dalam proyek ‘Nusantara 21’ masih dipengaruhi kepentingan
pemerintah, seperti dicerminkan dari hubungannya dengan kebijakan pertahanan
dan keamanan, persatuan dan kesatuan Indonesia, ketahanan nasional, dan Wawasan
Nusantara. Begitu pula peran pemerintah masih sangat dominan melebihi
pihak-pihak lain, misalnya swasta dan masyarakat, dengan adanya Tim Koordinasi
Telematika Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden No.30/1997, yang
melibatkan 14 menterinya, yaitu 1 menteri koordinator, 8 menteri departemen,
dan 5 menteri negara, namun tidak melibatkan pihak-pihak di luar pemerintahan.
Dengan demikian ‘Nusantara 21’ mencerminkan warna sentralisasi yang masih
sangat kuat dan nuansa demokratisasi kurang diperhatikan. Akibatnya visi
‘Nusantara 21’ yang awalnya dikenalkan secara top down sebagai simbol yang
mengemas kerangka pembangunan infrastruktur pemerintah Orde Baru tersebut
lengser mengikuti lengsernya pemerintahan Orde Baru. Selain itu krisis ekonomi,
sosial, dan politik pada tahun 1997 serta bangkitnya semangat otonomi daerah
mengikis proyek ‘Nusantara 21’ yang dinilai sangat kental bernuansa
sentralistik.
Secara konseptual, ‘Nusantara 21’ adalah sebuah visi nasional
yang memperjuangakan bsnagsa Indonesia untuk memasuki kancah persaingan ekonomi
global di abad 21. Sebagai kebijakan, infrastruktur informasi ‘Nusantara 21’
tidak telepas dari visi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, baik dari
segi ekonomi, sosial, politik, serta pertahanan dan keamanan, yang telah muncul
sejak adanya konsep satelit telekomunikasi Palapa 16 Agustus 1976. Bahkan
‘Nusantara 21’ lebih terlihat sebagai pemutakhiran dari proyek Palapa, dengan
tetap menggunakan pendekatan pada nilai-nilai pemersatuan seluruh Nusantara
sebagai negara kepulauan. Dengan demikian, secara paradigmatis, tidak ada
sesuatu yang relatif baru dari proyek ‘Nusantara 21’ bagi pembangunan
infrastruktur komunikasi Indonesia dibanding proyek satelit palapa sebelumnya.
Dari sisi teknologi, sebelum satelit Palapa mengorbit,
Indonesia hanya mengenal telekomunikasi yang bersifat teresterial, yakni yang
jangkauannya masih dibatasi oleh lautan. Telekomunikasi seperti ini tidak bisa
menjangkau pulau-pulau, kecuali melalui penggunaan SKKL (Saluran Komunikasi
Kabel Laut). Tetapi sistem SKKL itupun
masih mahal dan sulit untuk dipergunakan. Setelah satelit Palapa mengorbit,
jangkauan telekomunikasi Indonesia dapat menjangkau seluruh nusantara, kecuali
beberapa daerah blank spot. Satelit Palapa yang diluncurkan waktu itu tidak
hanya dapat digunakan untuk telepon, namun juga dapat dimanfaatkan untuk
pengiriman faksimili, telex, telegram, videotext, dan berbagai informasi dalam
bentuk lain, termasuk di bidang penyiaran (broadcasting), serta sistem cetak
jarak jauh bagi suratkabar. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur
telekomunikasi yang dimuali dari peluncuran Satelit Palapa berdampak
positif bagi penanaman investasi asing.
Sebelumnya pada inverstor enggan melirik Indonesia karena buruknya
infrastruktur telekomunikasi yang ada di tanah air.
Di berbagai belahan dunia, munculnya teknologi broadband
memudahkan orang mengakses internet di mana saja dengan teknologi mobile. Bila
teknologi generasi pertama/1G yaitu NMT (Nordic Mobile Telephony) dan AMPS
(Advanced Mobile Phone System) yang muncul pada awal 1990-an sekadar melampaui
keterbatasan fungsi telepon yang statis menjadi dinamis, serta hanya
menampilkan suara, maka pada teknologi generasi kedua/2G, GSM (Global System for Mobile) yang bergerak pada
pertengahan dekade 1990-an, teknologi seluler tidak hanya mampu menjadi wahana
tukar informasi dalam bentuk suara, tetapi juga data yang berupa teks dan
gambar (SMS dan MMS). Karena murah, akses teknologi mobile generasi kedua ini
berkembang pesat di Indonesia, sehingga memasuki 2000-an, handphone menjadi
perangkat hidup (gadget) sehari-hari.
Sejak tahun 2006, masyarakat di Indonesia sudah bisa
menikmati layanan audio-visual yang lebih canggih dengan teknologi generasi
ketiga (3G). Ada juga pilihan koneksi internet ke aplikasi seluler dengan
sistem UMTS, WiFi, dan WiMAX (Worlwide interoperability for Microwave Access).
Aplikasi teknologi terbaru berkaitan dengan kecepatan akses sebagaimana
ditunjukkan oleh beberapa jaringan operator seluler antara lain berupa jaringan
cepat yang dikenal dengan High-Speed Downlik Packet Access (HSDPA) atau sering
disebut dengan 3,5G; yaitu generasi yang merupakan penyempurnaan dari 3G.
Terakhir, tidak lama lagi, vendor maupun operator seluler siap dengan teknologi
Next Generation Network (NGN) atau 4G. Pada babakan inilah apa yang disebut
konvergensi media akan mencapai titik maksimal. Lewat segenggam handset, orang
di berbagai penjuru dunia bisa mengakses informasi secara cepat dan lengkap
sesuai kebutuhan (Yusuf dan Supriyanto, Jurnal Komunikasi UII, Volume 1, No. 2,
April 2007).
Perkembangan lebih lanjut dari teknologi 4G ini adalah
revolusi WCDMA (Wideband Code Division Multiple Access) menjadi LTE (Long Term
Evolution) dan revolusi EV-DO (Evolution for Data Only) menjadi UMB (Ultra
Mobile Broadband). Pada awalnya LTE dan UMB dijadwalkan masih cukup lama
untukmmulai diimplementasikan, mungkin akan lebih cepat dengan kemunculan WiMAX
(Worlwide interoperability for Microwave Access) yang memiliki kemampuan
seperti halnya 4G (Djamili, Kompas, 7 April 2008).
Jika dibandingkan dengan Negara tetangga sebenarnya Indonesia
tidak jauh tertinggal dalam hal teknologi komunikasi, di Negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura dalam hal
pengadaan dan pembangunan infrastuktur telekomunikasi
relative lebih cepat dan sangat didukung oleh pihak pemerintahnya sementara di
Indonesia permasalahan yang memperlambat perkembangan teekomunikasi terkendala
pada pembangunan infrastruktur yang sulit karena terbatasnya teknologi maupun izin
penggunaan lahan karena di Indonesia umumnya kotanya tidak memiliki penataan yang baik. namun saat ini Indonesia pasti mampu menyaingi perkembangan teknologi komunikasi negara lain.
Sumber :
https://bincangmedia.wordpress.com/tag/perkembangan-telekomunikasi-di-indonesia/
http://sejarah-telekomunikasi.blogspot.com/